Jakarta (11/09) – Dalam diskusi kelompok bertajuk “Ekoteologi: Konsep, Implementasi, dan Sinergi,” Budhy Munawar-Rachman, Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina, menegaskan pentingnya membangun ekoteologi yang transformatif. Acara ini bertujuan untuk merumuskan peta jalan ekoteologi di Indonesia, sekaligus memperkuat sinergi lintas agama dan aksi nyata dalam merespons krisis ekologis.
Dari Wacana ke Gerakan Nyata
Budhy menyoroti bahwa banyak kajian ekoteologi di dunia akademik masih terjebak dalam analisis satu sisi. Menurutnya, studi sering kali hanya berhenti pada analisis sosial-teologis tanpa berujung pada gerakan yang transformatif.
Ia menekankan bahwa ekoteologi tidak boleh hanya menjadi wacana, tetapi harus berkembang menjadi praksis yang hidup di tengah agama dan masyarakat. Untuk itu, Budhy memperkenalkan kerangka berpikir “see, judge, act” dalam menghadapi persoalan ekologis.
See (Melihat), kata Budhy, adalah tahap dalam menyadari kondisi lingkungan di sekitar kita, termasuk mendengarkan jeritan kaum miskin dan kelompok termarjinalkan yang paling terdampak kerusakan alam.
Tahap berikutnya, yakni Judge (Menilai) artinya berefleksi dengan menganalisis data dan kondisi sosial. Krisis ekologis tidak hanya dilihat sebagai masalah teknis, melainkan juga sebagai krisis moral dan spiritual yang berakar dari perilaku manusia.
Tahap terakhir, yakni Act, menuntut tindakan nyata yang lahir dari refleksi tersebut. Tahapan tersebut, kata Budhy, adalah praksis ekoteologis yang transformatif.
Menghindari Aktivisme Kosong
Menurut Budhy, ekoteologi menempatkan bumi sebagai rumah bersama yang sakral. “Kita memerlukan kesadaran spiritual, pengetahuan ilmiah, dan aksi nyata,” ujarnya. Ia juga memperingatkan agar gerakan lingkungan menghindari “aktivisme kosong,” di mana aksi tanpa spiritualitas berisiko kehilangan arah. Sebaliknya, iman tanpa aksi hanya akan berhenti sebagai orasi.
FGD ini menegaskan bahwa ekoteologi adalah sebuah gerakan spiritual. Gerakan ini hadir untuk mengubah cara pandang, sikap, dan perilaku manusia terhadap alam, menjadikannya kompas moral untuk menghadapi krisis global.
Budhy Munawar-Rachman menyimpulkan, “Dengan kolaborasi lintas agama, kearifan lokal, dan dukungan kebijakan, kita akan mewariskan bumi yang lestari bagi generasi mendatang.”
Penulis: Aptiani Nur Jannah



