Jakarta (11/09) – Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) bertajuk “Ekoteologi: Konsep, Implementasi, Sinergi” di Hotel Grand Sahid, 11 September 2025, menghadirkan berbagai perspektif tentang peran krusial agama dalam isu lingkungan. Salah satu pembicara utama, Ferry Sutrisna Widjaja dari Eco Camp Bandung, menegaskan bahwa ekoteologi melampaui konsep teologis. Menurutnya, ekoteologi adalah landasan etis dan praksis untuk membangun kesadaran lingkungan lintas agama.
Laudato Si’: Pesan untuk Semua Umat Manusia
Dalam paparannya, Ferry Sutrisna Widjaja menyoroti dokumen penting dari Paus Fransiskus, yaitu ensiklik Laudato Si’ (2015). Ia menekankan bahwa ensiklik ini tidak hanya ditujukan untuk umat Katolik, tetapi untuk seluruh umat manusia.
“Laudato Si’ bukan dokumen untuk orang Katolik semata, melainkan untuk semua manusia,” ujarnya.
Paus Fransiskus, kata Ferry, menyebut bumi sebagai “rumah bersama” dan “saudari dan ibu” yang kini terluka akibat eksploitasi manusia. Krisis lingkungan, lanjut Ferry, berakar pada paradigma teknokratis dan gaya hidup konsumtif. Oleh karena itu, Paus mengajak semua umat beriman untuk melakukan perubahan hati dan gaya hidup yang lebih peduli pada ciptaan.
Mewujudkan Aksi: Laudato Si’ Action Platform
Ferry juga menjelaskan tindak lanjut dari ensiklik tersebut melalui Laudato Si’ Action Platform (LSAP) yang diluncurkan pada tahun 2021. Platform tujuh tahun ini menjadi panduan praktis bagi individu, keluarga, dan komunitas dalam merespons “Tangisan Bumi” dan “Tangisan Kaum Miskin.”
“Mengurus orang miskin atau pemberdayaan masyarakat jangan dikatakan tidak mengurus bumi. Mengurus bumi tidak selalu berarti mengurusi sampah semata,” jelas Ferry.
Ia menambahkan bahwa LSAP merangkum tujuh tujuan praktis, dari ekonomi hingga gaya hidup berkelanjutan, sebagai wujud nyata dari ekoteologi integral.
Pendidikan Lingkungan: Kunci Kesadaran Publik
Menurut Ferry, isu paling mendesak di Indonesia adalah pendidikan lingkungan. Ia menyoroti pandangan peneliti Oxford, Hannah Ritchie, yang menyebut kondisi bumi dalam beberapa indikator justru membaik. Meski demikian, tantangan kesadaran publik masih sangat besar.
“Kalau Kemenag ingin fokus pada lingkungan, saya menyarankan berfokus pada edukasi. Bukan soal memasang panel surya, melainkan meningkatkan kesadaran lingkungan terutama melalui pendidikan,” katanya.
Pendidikan ekologis, bagi Ferry, bertujuan untuk menciptakan lebih banyak “orang-orang yang sadar lingkungan.” Kesadaran ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga transformasi nilai, terutama melalui agama dan spiritualitas.
Deklarasi Istiqlal 2024: Agama dan Krisis Global
Ferry Sutrisna Widjaja juga mengingatkan kembali pentingnya Deklarasi Istiqlal 2024 yang menegaskan peran aktif agama dalam menghadapi krisis kemanusiaan dan lingkungan. Ia berpendapat bahwa kedua isu ini tidak bisa dipisahkan.
“Kita semua adalah ciptaan, apapun agamanya, termasuk hewan, bakteri, dan seluruh ekosistem. Karena itu, kesadaran ekoteologis harus memandang semua sebagai saudara,” tuturnya.
Diskusi ini menegaskan bahwa ekoteologi adalah sebuah panggilan aksi. Melalui dokumen seperti Laudato Si’ dan pijakan lokal seperti Deklarasi Istiqlal, agama dapat memainkan peran signifikan dalam membangun kesadaran ekologis di Indonesia. Ferry Sutrisna Widjaja menyimpulkan bahwa jalannya sederhana namun mendasar: memperkuat pendidikan lingkungan agar semakin banyak orang sadar bahwa merawat bumi adalah bentuk spiritualitas yang paling nyata.
Penulis: Dedy Ibmar
Penyunting: Irfan Farhani



