Annual Meeting DREAMSEA 2025: Meneguhkan Diversitas dan Penguatan Jejaring Untuk Pelestarian Manuskrip Asia Tenggara
Hamburg, Jerman – Di jantung Eropa, ribuan kilometer dari Asia Tenggara, denyut nadi pelestarian warisan budaya tetap berdetak kencang. Dalam semangat kolaborasi lintas benua, tim Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA) baru saja menggelar Annual Meeting yang mempertemukan dua pusat utama mereka, yakni PPIM UIN Jakarta dan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Hamburg (10/4).
Pertemuan yang diselenggarakan pada Kamis, 10 April 2025 itu menjadi agenda utama mereka dalam mengevaluasi program dan merancang peta jalan untuk DREAMSEA Phase II (DS II) sebagai babak baru yang menjanjikan pendekatan yang lebih terfokus, merangkul keberagaman yang lebih luas, dan membangun jembatan kolaborasi yang lebih kokoh.
Fokus utama yang menjadi sorotan dalam diskusi tersebut adalah perluasan definisi “diversitas” dalam misi DREAMSEA. Jika sebelumnya misi DREAMSEA cenderung berfokus pada kuantitas manuskrip yang berhasil didokumentasikan, kali ini cakupannya perlu jauh lebih dalam. Sebagaimana disampaikan oleh Elsa Clave, pengelola program sekaligus berperan sebagai asisten Principal Investigator DREAMSEA di Hamburg, keberagaman tidak lagi hanya soal jumlah, tetapi juga merangkul kekayaan konten dari naskah-naskah yang berhasil didigitalkan baik dari segi material naskah, keunikan bentuk fisik naskah, nilai-nilai estetika yang terdapat pada naskah, komunitas pemilik hingga aspek keragaman kepercayaan.
“DREAMSEA II memiliki visi yang kuat untuk merepresentasikan mozaik budaya Asia Tenggara secara lebih holistik, melampaui batas-batas perspektif tunggal, seperti sebaran geografis, identitas komunitas pemilik yang beragam, hingga spektrum kepercayaan dari Muslim minoritas, Katolik, Buddha, hingga warisan Tionghoa yang tersembunyi dalam lembaran-lembaran naskah tua,” tegas Elsa Clave menyiratkan semangat inklusivitas yang membara.
Selain itu, kesadaran akan pentingnya memperluas jaringan internasional juga menjadi benang merah dalam pertemuan ini. Fase pertama DREAMSEA sebagian besar berakar di Indonesia, tetapi DREAMSEA II akan lebih banyak membidik daratan utama Asia Tenggara seperti Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. Perhatian khusus juga akan diberikan kepada komunitas-komunitas minoritas, yang seringkali terpinggirkan dari upaya pelestarian warisan tertulis.
Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum, Principal Investigator DREAMSEA di Jakarta, menyoroti perubahan signifikan dalam fokus geografis. “Sekitar 60% dari misi kami ke depan akan menyasar wilayah daratan Asia Tenggara meskipun Indonesia tetap menjadi penyumbang terbesar dalam jumlah asesmen manuskrip yang telah diterima,” ungkapnya lugas. Menurutnya, keterlibatan aktif komunitas lokal dan organisasi seperti Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dipandang signifikan terutama dalam merancang strategi digitalisasi yang efisien melalui kolaborasi di tingkat akar rumput.
Hal menarik lainnya yang menjadi sorotan adalah terkait isu-isu teknis mendasar seperti metadata. Metadata selayaknya katalog yang memungkinkan pembaca untuk memahami informasi yang terkandung di dalam naskah. DREAMSEA akan menjalin kemitraan yang lebih erat dengan platform Qalamos di Jerman untuk memastikan pengelolaan dan penyimpanan metadata manuskrip dilakukan dengan standar tertinggi. Proses pengisian metadata akan dipermudah dengan sistem daring yang intuitif, dirancang agar mudah digunakan oleh para kontributor lokal yang mungkin memiliki latar belakang dan tingkat keahlian yang beragam.
Karsten, seorang ahli dalam tim CSMC Hamburg, menekankan pentingnya konsistensi dan validitas metadata sebagai fondasi integritas ilmiah proyek. “Pelatihan teknis dan template metadata yang jelas akan disiapkan oleh tim DREAMSEA untuk mendukung kelancaran proses ini guna memastikan komitmen terhadap akurasi dan keandalan data,” ungkapnya dengan tegas.
Selanjutnya, gagasan menarik yang muncul dalam diskusi membuka peluang baru dalam upaya pelestarian naskah, yaitu pengembangan dokumentasi audiovisual profesional. Selaras dengan tujuan DREAMSEA yang berupaya mempromosikan dan mengedukasi tentang pentingnya warisan budaya, tim menyambut dengan antusias adanya ide untuk memproduksi video dokumenter sederhana namun sarat makna. Video-video tersebut diharapkan dapat menangkap esensi nilai-nilai budaya yang tersemat dalam manuskrip dan merekam jejak ritual-ritual masyarakat pemilik naskah yang mungkin terancam punah. Prof. Volker Grabowsky, dari CSMC, berbagi pengalaman sukses dalam memproduksi video serupa di Asia Selatan, memberikan keyakinan bahwa pendekatan ini sangat relevan untuk diterapkan di konteks Asia Tenggara.
“Mendokumentasikan upaya penyelamatan manuskrip dan ritual-ritual yang terkait di Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk mengabadikan momen-momen penting dalam tradisi berbasis manuskrip,” kata Volker, pakar kajian Thailand di CSMC. Ia juga menambahkan pentingnya kolaborasi lintas disiplin dengan melibatkan videografer, jurnalis, dan peneliti di luar pendanaan utama proyek DREAMSEA untuk menghasilkan dokumentasi yang kaya dan mendalam.
Pemberdayaan komunitas tetap menjadi kompas yang memandu langkah DREAMSEA ke depan. Program pelatihan berskala kecil dan berbasis lokal akan terus dilakukan, seperti membekali masyarakat dengan keterampilan untuk membaca, mendeskripsikan, dan memanfaatkan kembali pengetahuan yang terkandung dalam manuskrip yang telah didigitalkan. Prof. Volker memberikan contoh keberhasilan model pelatihan serupa yang diterapkan oleh program EAP (Endangered Archives Programme) melalui program magang bagi para biksu lokal. Program itu menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang warisan budaya dapat dihidupkan kembali di tangan komunitasnya sendiri.
Pertemuan ini diakhiri dengan penegasan komitmen yang kuat bahwa DREAMSEA II akan mengedepankan pendekatan yang lebih selektif namun mendalam, dengan jangkauan geografis yang lebih luas namun tetap berakar pada partisipasi aktif komunitas. Diversitas yang dirayakan, kolaborasi lintas batas yang diperkuat, fondasi metadata yang kokoh, dan dokumentasi budaya yang inovatif akan menjadi empat pilar utama yang menopang proyek ini dalam beberapa tahun mendatang.
“Diversitas bukan sekadar identitas yang beragam, tetapi juga jembatan yang menghubungkan kita pada pengetahuan yang tak terhingga. Inilah esensi dari apa yang ingin DREAMSEA wujudkan,” pungkas Jan van der Putten, Principal Investigator DREAMSEA di Universitas Hamburg, menutup babak penting dalam perjalanan panjang pelestarian warisan manuskrip Asia Tenggara. Sebuah perjalanan yang tidak hanya menyelamatkan lembaran-lembaran usang, tetapi juga merajut kembali benang-benang sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya.
Penulis: Lilis Shofiyanti
Editor: Ilham Nurwansah



