Kenapa Masih Ada Orang Tidak Percaya Krisis Iklim? Menyingkap Fenomena Climate Denial 

Tangerang Selatan (23/12)—Perubahan iklim adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Dampaknya sudah terasa di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Banjir yang semakin sering, cuaca ekstrem, dan naiknya permukaan air laut menjadi bukti nyata krisis lingkungan ini. Namun, di balik upaya global untuk mengatasinya, muncul hambatan besar berupa penolakan terhadap perubahan iklim atau climate denial.

Fenomena ini menjadi tantangan serius. Berdasarkan hasil Survei Nasional PPIM UIN Jakarta tahun 2024, sebanyak 21% masyarakat Indonesia masih meragukan atau bahkan menolak fakta bahwa manusia menjadi penyebab utama perubahan iklim. Penolakan ini sering kali didasarkan pada informasi yang keliru, narasi bias, atau pandangan konservatif yang kurang memahami urgensi krisis iklim. Sayangnya, kondisi ini diperparah oleh pengaruh tokoh-tokoh global seperti Donald Trump yang menyebut perubahan iklim sebagai “hoax,” dalam beberapa cuitannya di media sosial X, atau Bjorn Lomborg yang lebih mementingkan ekonomi daripada keberlanjutan lingkungan sebagaimana tercermin dari buku-bukunya, salah satunya yang berjudul “False Alarm”.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan di Isu Lingkungan Masih Minim, Termasuk dalam Gerakan Green Islam

Di Indonesia sendiri, perubahan iklim belum menjadi prioritas utama di tengah masyarakat. Survei yang sama menunjukkan bahwa isu perubahan iklim hanya dianggap sebagai masalah lingkungan penting ke-7, jauh di bawah isu seperti pengelolaan sampah dan kerusakan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa literasi lingkungan masih menjadi tantangan besar di negara ini.

Penolakan perubahan iklim bukan hanya tentang kurangnya pemahaman ilmiah, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memandang hubungan mereka dengan alam. Survei PPIM menemukan bahwa masyarakat Indonesia lebih dominan memiliki pandangan antroposentrisme, yaitu melihat alam semata sebagai sumber daya untuk kebutuhan manusia. Padahal, pendekatan teosentrisme yang melihat alam sebagai amanah dari Tuhan bisa menjadi cara pandang yang lebih harmonis dan berkelanjutan.

Baca Juga: Green Islam and Climate Change in Indonesia: Why Green Islam Movements in Indonesia Have Different Focus to Respond Environmental Issues

Namun, ada harapan di balik tantangan ini. Green Islam, sebuah konsep yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kesadaran lingkungan, memiliki potensi besar untuk membentuk perilaku ramah lingkungan. Sayangnya, mayoritas Muslim Indonesia masih belum memahami atau mempraktikkan prinsip ini. Banyak yang tahu tentang perubahan iklim, tetapi hanya sedikit yang benar-benar terlibat dalam aksi nyata, seperti kampanye lingkungan, daur ulang, atau donasi untuk pelestarian alam.

Untuk mengatasi penolakan perubahan iklim, Indonesia membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Edukasi berbasis fakta harus ditingkatkan, baik melalui kurikulum pendidikan formal maupun kampanye kreatif di media sosial. Peran tokoh agama juga sangat penting. Dengan menyampaikan pesan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, tokoh agama dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas. Selain itu, pemerintah dan organisasi masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan kebijakan yang mendorong perilaku ramah lingkungan, seperti insentif untuk energi terbarukan atau pengelolaan sampah yang lebih baik.

Meskipun tantangannya besar, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi contoh dalam upaya melindungi bumi. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pendekatan berbasis nilai-nilai agama dapat menjadi solusi yang efektif. Dengan komitmen bersama dari semua pihak, kita dapat mengubah keraguan menjadi tindakan nyata untuk melindungi lingkungan bagi generasi mendatang.

 

Bagikan Cerita Ini, Pilih Platform Anda!